Jumat, 20 Juli 2018

" Kita tidak perlu menjadi tukang sulap "

Pesulap atau tukang sulap, semua orang pasti mengetahui kalimat ini, dan bukan sesuatu yang asing bagi mereka. Pesulap atau tukang sulap adalah salah satu profesi yang menganehkan, tapi lumayan menyenangkan. Karena setiap pesulap ketika ia tampil dipanggung, selalu saja ia membuat orang-orang kebingungan. Kenapa?? Karena Ia kadang kala membuat sesuatu yang ada menjadi tiada dan menjadikan yang tiada menjadi ada. Bukan kah itu sangat mengherankan dan membingungkan?? Trik-trik sulapnya selalu membuat kita terpesona dan terdiam tanpa gerak. Ya pesulap memang hebat dalam persoalan sulap menyulap.

Disini saya tidak akan membahas lebih dalam terkait pesulap tadi, terkait trik-triknya yang membuat sesuatu ada menjadi tiada, dan sebaliknya. karena itu hanya akan membuat dunia menjadi rame. Namun, disini saya akan membahas terkait apa yang disebut ada dan tidak ada. Ini tentu membuat  njlumet bagi saya pribadi untuk menjelaskannya. Namun saya akan membahas perihal "ada"nya eksistensi dan "tidak ada"nya eksistensi. Bukan membahas ada dan tidak ada secara universal. Namun secara khusus.

Berbicara eksistensi, menurut KBBI adalah "keberadaan". Keber-ada-an yang awal mula kalimatnya adalah "ada"  ketambahan keber dan an, menjadi keberadaan. Apa sih ada itu?? Apakah ada adalah sesuatu yang nampak? Ada tidak dapat diukur dengan sesuatu yang nampak. Karena hakikat ada adalah sesuatu yang ada dialam idea. Kata plato tokoh filsafat aliran idealisme waktu itu. Namun berbeda dengan tokoh-tokoh filsafat aliran empirisme, tokoh-tokoh empirisme meyakini bahwa yang disebut ada adalah sesuatu yang dapat di ukur dengan melalui panca idra. Membingungkan bukan? Kita pun mungkin tidak bisa menyalahkan dari kedua teori yang berbeda itu, cukup kita pahami dan membenarkannya saja.

Fokus kepada eksistensi, menarik rasanya kita membahas eksistensi yang terobjek kepada manusia dalam kajian ini, ya eksistensi manusia. 

"Manusia menjadi manusia jika berada di antara manusia " kata Emmanuel Kant.

Manusia sejatinya adalah makhluk sosial bukan makhluk individu yang mampu berdiri sendiri dan selalu berada dalam kesendirian. Teks suci selalu menyarakan kita agar saling mengenal satu sama lain.

kita adalah makhluk sosial, yang kapan pun dan dimana pun membutuhkan yang lainnya. Namun herannya, sebagian manusia terkadang terlalu berisifat ekslusif (menganggap dirinya sebagai satu-satunya yang paling benar dan yang lain adalah salah) tidak menganggap yang seharusnya ada adalah sesuatu yang benar-benar ada (mentiadakan yang ada), bukankah mentiadakan yang seharusnya ada merupakan kewenangan tuhan? dan kita (manusia), tidak berhak untuk mentiadakan yang seharusnya ada dan mengadakan yang seharusnya tiada, sangat tidak berhak. perihal persoalan kemanusiaan.

Manusia terkadang terlalu egosentrik dalam bertindak, sehingga tidak heran terkadang adanya tidak dianggap ada oleh yang lainnya, dikarenakan ia selalu berisikukuh dengan pendapatnya sendiri, dan tidak mau dengan pendapat orang lain.

Nafsu manusia yang teramat besar mengahancurkan eksistensinya semestinya berada menjadi tak berada. Padahal eksistensi dirinya akan ada melalui lingkungan, ya lingkunganlah yang sejatinya membuat atau membentuk eksistensinya menjadi ada. kata salah satu aliran filsafat eksistensialisme. Jika kita tidak di anggap ada oleh yang lainnya, maka sepatutnya kita bertanya dengan diri kita sendiri. menganggap ada kah kita dengan manusia yang semestinya memang ada ?? Karena eksistensi kita akan ada dan terbentuk melalui lingkungkungan sosial yang ada.

Paradoks yang berkembang saat ini terkadang terlalu menyeleweng dari yang sebenarnya tidak boleh diselewengkan, sifat sombong, angkuh, tidak mau menerima perbedaan, dan terlalu menganggap diri kita lah  yang paling hebat dan benar adalah salah satu indikator yang membuat eksistensi kita tiada. maka jika ia menginginkan diri kita dianggap sebagai manusia, maka manusiakanlah yang memang manusia dan jangan memanusiakan yang sejatinya bukanlah manusia. Kita tidak perlu menjadi tukang sulap dan menyulap perihal eksistensi manusiaan. Karena hal begituan hanya akan mempersulit kita bukan??? Bukan kah kita butuh keluarga, sahabat, dan teman, agar kita di kenal dan di anggapnya ada??

Ahmad Rizal, 21 juli, 2018.
Gentong, taman krocok, bonndowoso

Sabtu, 14 Juli 2018

Buah yang jatuh

Pagi itu, sekitar jam 6, aku terjaga dari tidur pulasku, akupun langsung beranjak turun dari tempat tidurku untuk menuju kedepan halaman rumahku. Ya pagi itu, pagi yang dipenuhi tetesan embun, tiupan angin, suara burung, dan suara ayam, yang mulai meramaikan pagiku.

Perasaanku dipagi itu, antara rasa senang dan rasa dingin yang tak bisa ku pungkiri dan ku ingkari. Pertama rasa Senang. Senang, karena aku dapat melihat indahnya suasana pagi kala itu. Pagi dengan matahari yang diam-diam mengintipku dari ufuk timur. Ia mengintip bebarengan dengan sinarnya yang menghangatkan pagiku yang dingin. Dan kedua adalah Rasa dingin. Ya, pagi itu memang sangat dingin, sebab tetesan embun dan tiupan angin kencang rasanya mengajak aku bermain dan mereka pun mulai menempel pada kulitku yang tipis. Dinginnya pagi itu, Huhhhh.

Dengan keadaanku yang sedang duduk sambil memperlihatkan bahuku pada sinar matahari, yang menginginkan kehangatan darinya. Tiba-tiba tak sengaja aku melihat buah yang jatuh dari pohonnya, entah memang waktunya untuk terlepas dari pohonnya dan jatuh, atau sebab angin pada pagi yang amat kencang dan lancang menggoda buah iru agar terjatuh dari pohonnya?? Aku tidak tahu. Tapi aku yakin, sebab terjatuhnya buah itu tidak lain karena godaan angin kencang dan lancang itu, karena buah yang jatuh, bukan buah yang memang sudah seharusnya waktunya jatuh, melainkan beberapa buah yang belum saatnya untuk terlepas dari pohonnya dan belum saatnya untuk jatuh dari pohonnya. Ya buah itu jatuh sebelum waktunya.

Aku pun menghampiri buah-buahan yang berjatuhan itu, kulihat ada lima buah yang jatuh pada saat itu, dua buah yang masih mentah dan tiga diantaranya matang dengan warna merah yang sempurnah. Maksud hati ingin mengambil semua tiga buah yang matangnya sempurnah. Tapi aku tidak boleh mengambil semuanya, aku hanya boleh memilih dan mengambil satu buah dari tiga buah dengan warna dan matang yang sempurnah. Karena dulu ayahku pernah berpesan bagini padaku.

" Nak, dalam berkehidupan, kau harus bijak dalam persoalan memilih, Karena persoalan memilih bukan hal yang gampang, namun hal yang sulit, lebih sulit dari, pelajaran dan permainan TTS. Karena perihal memilih sesuatu apapun itu, harus melibatkan hati.  kau harus menentukan satu pilihan dan memutuskannya, tidak boleh dua, tiga ataupun lebih anakku. karena terlalu banyak memilih dan terlalu banyak pilihan adalah kreteria orang yang serakah jika ia tidak mampu adil. Maka jangan terlalu banyak memilih nak, pilihlah satu dari yang kau sukai. Karena kau manusia biasa, ditakutkan kau tak akan mampu mengadilkan semua yg kau pilih. berlakulah yang adil. hatimu hanya ada satu, maka kau hanya boleh memilih satu. Ingat nak, perihal memilih jangan libatkan nafsumu!, tapi hatimu itu lho nak, paham nak??"

Mengingat pesan ayahku, rasanya aku sulit menjatuhkan pilihan dari tiga buah dengan matang yang sempurnah, dan bagiku tiga buah itu, sama nilainya, sama warnanya, sama rasanya, pun sama besarnya. Aku tak dapat memilih. aku kebingungan. fikiranku kacau, karena tak dapat menentukan dan memutuskan pilihan. Tak dapat memilih dan mengambil satupun dari sekian tiga buah itu. Aku terlalu lama berfikir, terlalu lama terdiam, di tempat dimana buah itu jatuh.

Anak-anak kecil disekitar rumahku sudah mulai keluar rumah untuk bermain. mereka menghampiriku yang sedang termenung, bingung seperti orang bodoh. Dan akhirnya mereka pun juga melihat buah yang jatuh dengan matang yang sempurnah, dan dengan cepat mulai mengambilnya. Mereka mengambil semua buah itu.

Pupus sudah harapanku untuk mendapatkan buah itu, akhirnya yang kudapati hanyalah dua bauh yang mentah dan rasa galau, menyesal, dan kesal yang bercampur aduk. karena tak dapat memutuskan pilihan. Dan membiarkan pilihannya jatuh ketangan orang lain.

Simpulku, orang dewasa terlalu banyak angan-angan, terlalu takut dan terlalu berhati-hati dalam persoalan memilih. Gara-gara ketakutan dan kehati-hatianya, menyebabkan ia (orang dewasa) tak mampu memilih sesuatu yang ingin ia pilih, yang pada akhirnya ia tak mendapatkan pilihan dari sesuatu yang diperhatikannya dan diimpikannya menjadi yang terpilih.

Bagiku anak kecil itu lebih berani. Lebih berani dan bahkan lebih bijak dariku, karena anak kecil, berani dan bisa mengambil keputusan. Pun lebih berani mengambil resiko dari keputusan yang telah dipilihannya. Entah apapun resikonya. Karena mungkin baginya " Tugas kita adalah memilih, memilih adalah memilih, urusan salah dan benar itu tak penting, itu urusan belakangan, yang terpenting adalah mampu melaksanakan tugas memilih dan menentukannya."

Ahmad Rizal, tenggarang, 15 juli, 2018