Renungan Mahasiswa
Satu bulan lebih pasca aksi Aliansi Mahasiswa Peduli Kampus (AMPK), lagi-lagi mahasiswa yang peduli dengan kampusnya tercinta dibuat meradang, pikiran tak karuan dan tak jarang harus menghabiskan waktu tidurnya untuk memikirkan sistem kampus yang tak jelas arah dan tujuannya. Beberapa pekan lalu setelah aksi geruduk kampus dengan upaya membawa segenap gagasan perubahan terhadap sistem yang dinilai tak berorientasi pada perkembangan kampus. Namun, nyatanya kampus tidak merespon dengan baik, terbukti Dosen nakal tetap saja berulah, pelayanan masih saja kurang membaik, KTM banyak yang tidak keluar, dan tidak ada kegiatan yang edukatif yang dilakukan oleh Organisasi Intra untuk mencerdaskan mahasiswa-mahasiswa di kampus. Aneh, lagi-lagi pihak kampus membuat arah gerakan dengan “Deklarasi Kampus Santri”.
Meradang, begitulah kira-kira respon segenap mahasiswa yang peduli akan kemajuan dan kebaikan kampusnya kedepan. Pasalnya setelah deklarasi kampus santri tak ada visi dan misi yang jelas dari kampus untuk merelevansikan dengan deklarasinya. Bingung, tak jelas harus kami tanggung sendiri akibat hal tersebut. Tak ada perubahan yang signifikan setelah hal itu dilakukan. Bahkan, moral di lingkungan kampus santri harus ternodai dengan tingkah laku mahasiswa yang berpacaran di area ini. Bagaimana mungkin sublimasi pondok pesantren harus tercemar hal yang begituan dan tidak ada tindakan yang jelas dari pihak terkait. Pertanyaannya apakah ini kampus santri yang dimaksud? Atau hanya sekedar akal-akalan agar kampus tidak dikritiki lagi oleh mahasiswa dengan dalih etika ala santri terhadap sang kiyai?.
Ibarat seseorang yang terdampar di tengah pulau yang tak berpenduduk, tulisan ini menjadi lambang atau sinyal SOS. Kadang dibaca dan kadang pula dibiarkan. Namun orang yang mau menyelamatkan dirinya sendiri dari keterdamparan di pulau kosong ini, akan menghadapi dewa wisnu pemilik pulau ini. Meski bukan pimpinan dewa tapi perannya adalah yang mahabenar diatas segala-galanya.
Tragedi 98 mungkin akan menjadi sejarah paling mengerikan dalam masa kepemimpinan Soeharto, dimana masa mulai memberontak dari segala penjuru. Kekacauan terjadi dimana-mana, inilah sebabnya jika demokrasi disetting tidak berfungsi. Elit politik yang sudah berkuasa akan menjadi pemegang hak tertinggi dalam suatu sistem pemerintahan. Seperti itulah kampus ini keadaannya. Tak ubahnya keluarga cendana yang berkonspirasi dengan dewa wishnu.
Istilah Musyawarah Mahasiswa (Musyma) untuk menetapkan sebuah produk hukum itu telah diganti perannya oleh sekelompok (lima orang) mahasiswa yang tergabung dalam organisasi intra KPUM. Dalam menetapkan calon-calon pemimpin organisasi intra itu semua ada ditangan KPUM, jadi gunanya statuta kampus adalah sebagai bumbu lelucon yang tidak menjadi bukti dasar aturan dalam sebuah organisasi. Mau menjabat apa kamu hari ini di kampus? Mau mencalonkan diri sebagai pimpinan organisasi intra? Jawabannya cukup satu tahun masuk dalam kepengurusan organisasi intra yang keaktifannya jika presentasekan tak lebih dari 10% saja.